Bolehkah Menyerang Sebelum Diserang???
Oleh: Dr. Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum
Isu perang kembali menjadi topik hangat akhir-akhir ini sejak maraknya berita tentang konflik bersenjata antara Rusia-Ukraina atau pun Israel-Palestina. Mayoritas diskusi membahas tentang siapa yang bersalah, apa jenis senjata yang digunakan, hingga konspirasi yang melatarbelakanginya. Serangan tiba-tiba yang dilancarkan Hamas terhadap Israel pada Oktober 2023 lalu mendorong lahirnya topik lain: “Apakah Islam mengizinkan penyerangan sebelum diserang.” Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan terakhir berdasarkan nalar normatif yang disarikan dari beberapa sumber hukum Islam.
Hukum asal perang dalam Islam adalah dilarang sebagaimana dijelaskan oleh ayat: “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik”[1] dan firman Allah: “Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka.”[2] Namun demikian, ada beberapa keadaan yang membenarkan perang, bahkan Al-Qur’an memerintahkan perang tersebut dan mengatur batasan-batasannya. Salah satunya dapat ditemukan dalam firman Allah: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”[3] Jika merujuk pada sumber-sumber penafsiran Al-Qur’an, kata “tidak melampaui batas” dalam ayat tersebut merupakan dasar tata cara dan standar kemanusiaan dalam perang. Ayat lain yang membolehkan perang adalah QS. Al-Hajj [22]: 39-40 yang artinya:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar: hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami adalah Allah”.[4]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa penyebab disyariatkannya perang adalah lantaran umat Islam dizalimi dan diusir dari negerinya tanpa alasan yang masuk akal. Perang tidak pernah dibenarkan karena alasan menindas yang lebih lemah, atau sebagai bahan uji coba kualitas senjata. Perang hanya dibenarkan untuk alasan membela diri.
Selain membela diri, pelanggaran musuh terhadap perjanjian damai juga termasuk alasan diizinkannya perang dalam Islam. QS. At-Taubah [9]: 13 menjelaskan:
“Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allahlah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”[5]
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang Mekah yang mengingkari perjanjian Hudaibiyah (berisi kesepakatan gencatan senjata) dan menyerang umat Islam. Mereka juga “mengusir” Rasulullah secara tidak langsung dari Makkah dan memulai Perang Badar.
Tidak hanya pada era Rasulullah, peperangan era Khulafaur Rasyidin juga demikian. Penaklukkan-penaklukkan yang dilakukan oleh umat muslim di berbagai wilayah dilatarbelakangi oleh tindakan ofensif orang-orang non-muslim. Sekali lagi, seorang muslim tidak dibenarkan memerangi siapa pun yang tidak memeranginya.
Selain membahas tentang alasan dibolehkannya perang, Islam juga mengatur niat (intention) ketika melakukan perang. Tidak ada niat duniawi yang dibenarkan ketika seorang muslim terlibat perang. Perang dalam Islam harus didasari niat fi sabilillah (di jalan Allah), yang berarti, perang merupakan tugas ilahi dan memiliki aturan ketatyang harus dihormati dengan baik.[6] Hal tersebut merupakan prinsip inti dari peperangan dalam Islam. Dengan niat “di jalan Allah” perang diharapkan “menjadi jalan untuk melindungi kemanusiaan”[7] bukan ranah untuk hilangnya kemanusiaan itu sendiri. Perang yang diharapkan tetap layak disebut “beradab” karena didasarkan pada prinsip: proporsionalitas,[8] kemanusiaan,[9] belas kasihan, non-diskriminatif, menjaga martabat manusia, kesetaraan, persaudaraan,[10] dan keadilan.[11]
Selain Al-Qur’an, berbagai hadis juga memaparkan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam perang. Salah satunya menyatakan, “Pedang tidak seharusnya digunakan secara membabi-buta oleh seorang muslim. Pedang seharusnya digunakan dengan menjunjung peri kemanusiaan dan demi kepentingan umat manusia yang lebih luas.”
Abdullah bin ‘Umar r.a menceritakan sebuah peristiwa pada era Rasulullah: “Aku menemukan seorang perempuan terbunuh dalam perang bersama Rasulullah. Setelah itu, Rasulullah melarang kami untuk membunuh perempuan dan anak-anak dalam pertempuran.”[12] Dalam riwayat lain disebutkan, “Rasulullah mengecam keras pembunuhan terhadap kaum perempuan dan anak-anak.”[13] Saat berperang, Rasulullah selalu mengingatkan pasukan muslim untuk berlaku adil. Hal tersebut dapat diperhatikan dalam hadis Yahya yang diriwayatkan oleh imam Malik bahwa dia mendengar Umar bin Abd Al-‘Aziz menulis surat kepada salah satu gubernurnya, “Telah sampai kepada kita hadis tentang Rasulullah yang mengirim seorang utusan pada perayaan kemenangan atas suatu penyerangan. Utusan itu menyampaikan pesan Rasulullah kepada mereka, ‘Lakukanlah serangan kalian atas nama Allah dan pada jalan yang diridai Allah. Perangilah semua orang yang menyangkal Allah. Jangan mencuri harta rampasan perang dan jangan berkhianat. Jangan memutilasi mayat dan jangan membunuh anak-anak. Sampaikanlah ke seluruh tentaramu, insyaallah keselamatan bagimu!”[14] Dalam hadis lain Rasulullah juga melarang membunuh para pendeta di biara-biara, serta siapa saja yang sedang beribadah.[15]
Perang merupakan realitas alamiyah manusia karena kekerasan melekat dalam sifat manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak menghapuskan perang, tetapi mengatur batasan dalam perang.[16] Bagaimana pun, perang atau yang juga dikenal dengan jihad bil qital harus dihindari dan hanya dilegalkan untuk alasan-alasan yang baik[17] atau untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.[18] Dalam kerangka ini, perang yang adil (just war) adalah perang defensif yang dilakukan atas dasar prinsip mempertahankan diri (self defences).[19] Perang hanya diperlukan dalam rangka untuk melindungi Islam[20] saat tertekan atau tertindas,[21] bukan untuk mendapatkan harta rampasan atau tujuan heroik.[22]
Pemisahan ketat antara Jus ad Bellum dan Jus ad Bello tidak dikenal dalam Islam,[23] maka alasan perang dan etika perang saling mempengaruhi satu sama lain. Jika dibandingkan dengan Barat, hukum Islam telah lebih dahulu mengembangkan Jus in Bello.[24] Islam memiliki batas-batas yang ketat mengenai pelaksanaan perang, penggunaan senjata, penentuan metode, serta pemilihan taktik dan target penyerangan. Membedakan antara warga sipil dan kombatan merupakan kunci dalam aturan peperangan menurut Islam yang dikenal dengan hukum humaniter Islam.
Hukum humaniter Islam tidak jauh berbeda dari hukum humaniter internasional karena sama-sama mengatur perilaku peperangan, pembatasan senjata, metode perang dan target yang diperbolehkan. Keduanya juga membedakan antara warga sipil dan kombatan, di mana warga sipil harus mendapatkan perlindungan selama peperangan berlangsung.
Meskipun Islam tidak memiliki aturan sedetail Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, namun beberapa aturan perlindungan dapat ditemukan pada sumber-sumber hukum Islam, misalnya: larangan membunuh masyarakat sipil,[25] perlindungan tenaga medis,[26] dan anggapan bahwa setiap warga sipil yang berperan aktif dalam perang—mereka yang mengatur logistik, makanan, persediaan senjata atau pemetaan strategi perang—adalah kombatan.[27]
Selain membahas tentang alasan dan fondasi etika perang, Islam juga memasukkan standar kemanusiaan, seperti larangan penyiksaan—karena melanggar prinsip dignity,[28] pembedaan antara kombatan dan non-kombatan—perempuan, anak-anak bukan prajurit, budak, orang buta, lumpuh, dan orang tua, larangan mutilasi—baik manusia atau pun hewan, larangan membunuh hewan yang tidak digunakan untuk sarana perang, larangan memusnahkan ternak, merusak simbol-simbol keagamaan, membabat pepohonan, menghancurkan hasil panen warga, meluluhlantakkan rumah, bangunan, dan objek sipil, larangan mengusir warga pribumi dari tanah airnya, melakukan pemerkosaan, memblokade bantuan kemanusiaan, menggunakan senjata destruktif berskala luas, atau melakukan genosida (karena berlawanan dengan prinsip kesetaraan manusia).[29] Sebaliknya, Islam memerintahkan untuk membatasi waktu dan tempat peperangan, serta menghormati hak musuh yang telah menyerah. Prinsip-prinsip tersebut harus dihormati sebagai bagian dari ajaran Islam: “tidak melampaui batas.”[30]
Dengan demikian, hukum Islam sejalan dengan prinsip just war yang menekankan adanya right intention yang diwakili dengan niat lillahi ta’ala dalam melakukan intervensi dengan kekuatan bersenjata. Prinsip proportionality juga tampak dalam hal ini karena Al-Qur’an menekankan aturan “tidak berlebih-lebihan” dan “larangan melampaui batas” dalam setiap penyerangan. Perang hanya dibenarkan untuk alasan yang tepat: keterpaksaan demi membela diri dengan tetap memegang prinsip-prinsip perang yang adil, bermartabat, berperikemanusiaan, non-diskriminatif dan berbelaskasihan.
[1] QS. Fushshilat [41]: 34.
[2] QS. Al-Maidah [5]: 13.
[3] QS. Al-Baqarah [2]:190.
[4] QS. Al-Hajj [22]: 39-40.
[5] QS. At-Taubah [9]: 13.
[6] H. A. Haleem et al. The Crescent and the Cross: Muslim and Christian Approaches to War and Peace (New York: MacMillan, 1998) hlm 67.
[7] Ayatollah M. Damad, “International Humanitarian law in Islam and Contemporary International Law”, dalam H. Salimi and H. Moshirzadeh, (eds), Islamic Views on Human Rights: Viewpoints of Iranian Scholars (New Delhi: Kanishka Publishers, 2003) hlm 253.
[8] QS. Al Hijr [15]: 126-128.
[9] QS. Al-Maidah [5]: 32.
[10] QS. An-Nisa [4]: 1.
[11] QS. An-Nahl [16]: 90.
[12] HR. Bukhari (3015) dan HR. Muslim (1744).
[13] HR. Bukhari (3014) dan HR. Muslim (1744).
[14] Malik ibn Anas, Al-Muwaththa’, Book 21, N. 21.3.11
[15] Musnad Ahmad Ibn Hanbal.
[16] QS. Al-Baqarah [2]: 216
[17] M. R. Ahmad Khan, Islamic Jurisprudence (Lahore: Muhammad Ashraf SH, 1978) hlm. 210.
[18] A. Rahim, The Principles of Islamic Jurisprudence According to the Hanafi, Maliki, Shafi’i and Hanbali Schools (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994) hlm. 393.
[19] QS. Al-Baqarah [2]:190 dan QS. Al-Hajj [22]: 39.
[20] QS. Al-Hajj [22]: 40.
[21] QS. An-Nisa [4]: 75.
[22] Kelsay, Islam and War: A Study in Comparative Ethics (Westminster: John Knox Press, 1993) hlm. 67.
[23] M. A. Boisard, “The Conduct of Hostilities and the Protection of the Victims of Armed Conflicts in Islam”, Hamdard Islamicus 1: 2 (1978) hlm. 3.
[24] S. Hashmi, “Interpreting the Islamic Ethics of War and Peace”, S. Hashmi, (ed.), Islamic Political Ethics: Civil Society, Pluralism and Conflict (Princeton, NJ: Princeton University Press, Princeton, 2002) hlm. 210.
[25] H. M. Zawati, Is Jihad a Just War? War, Peace and Human Rights under Islamic and Public International Law (Lewinston, NY: Edwin Mellen Press, Studies in Religion and Society, 2001) hlm. 89.
[26] Boisard, op.cit., hlm. 10.
[27] Ibid., 136.
[28] Ibid., hlm. 152.
[29] M. S. El Dakkak, State’s Crimes against Humanity: Genocide, Deportation and Torture from the Perspective of International Law and Islamic Law (Kuala Lumpur: A.S Noorden, 2000) hlm. 93.
[30] H. A. Haleem et al, The Crescent and the Cross: Muslim and Christian Approaches to War and Peace (New York: MacMillan, 1998) hlm. 69.