Teori Ibnu Khaldun tentang Perang: Strategi dan Sebab-Sebab Kemenangan dan Kekalahan
Adel Al-Ahmar, Peneliti Tunisia
(Penerjemah: Novriantoni Kahar)
Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang menempatkan ilmu sosial pada landasan modernnya. Dia mengemukakan teori-teori sosial tentang hukum perkembangan peradaban, teori solidaritas sosial, juga pengamatan yang cermat tentang naik turunnya suatu negara, usia, dan fase-fasenya.
Dia juga mengabdikan sebagian dari isi kitab al-Muqaddimah—yang terkenal itu—untuk berteori tentang perang, juga meletakkan landasan ilmiah tentang berbagai bentuk dan strategi perang dari sudut pandang ilmuwan sosial yang jeli, berpengetahuan luas, kritis, seraya merayakan kebebasan berpikir.
Ibnu Khaldun dan Perang
Abd al-Rahman ibn Khaldun belum lagi genap enam belas tahun ketika pasukan Sultan Fez, Abu al-Hasan al-Marini, memasuki dan menyerang kota Tunis pada tahun 748 H/1347 M. Bagi pemuda yang kelak menjadi penulis kitab al-Muqaddimah dan peletak dasar-dasar ilmu sosial, perang Tunis merupakan manifestasi pertama dari perang yang dia saksikan secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Sebelumnya, Ibnu Khaldun hanya mengetahui perang dari berbagai buku atau melalui perbincangan dalam pertemuan keluarga dan forum pembelajaran di Masjid al-Zaytouna, Tunis.
Sejak saat itu, perang Tunis terus mempengaruhi Ibn Khaldun dalam banyak aspek kehidupannya: ketika tinggal atau pun melakukan perjalanan ke Afrika, Maghribi Tengah, Maghribi Barat Jauh, Mesir dan Levant (saat ini meliputi Lebanon, Suriah, Yordania, dan Palestina). Perang terus menghantuinya sekali pun dia tidak mencari-cari wujudnya secara sengaja.
Kisah panjang pergumulan Ibnu Khaldun dengan perang, betapapun keras dan pahitnya, justru berperan penting dalam melahirkan ide-ide brilian terkait beberapa kasus. Karena itulah buku-bukunya cukup luas membahas tentang topik perang. Ibnu Khaldun bahkan menteoretisasikan perang dalam pendahuluan kitab al-‘Ibar—yang dikenal dengan al-Muqaddimah, dan memaparkan kronik sejarah atas peristiwa-peristiwa dalam peperangan pada halaman inti Kitab al-‘Ibar wa Diwaan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-Ajam wa al-Barber wa Man Aasharahum min Dhawi al-Sulthan al-Akbar (Kitab Pelajaran-Pelajaran dan Catatan Permulaan dan Pemberitaan tentang Keseharian Orang Arab, non-Arab dan Bangsa Barbar, serta Mereka yang Sezaman dengan Sultan Terbesar) atau yang lebih dikenal secara singkat sebagai Kitab al-‘Ibar atau Kitab Pelajaran.
Ibnu Khaldun: Teoretisi Perang
Sebagai mana perang memiliki pengaruh luar biasa dalam kehidupan Ibnu Khaldun, perang juga hadir dalam banyak tulisannya. Ibnu Khaldun membahas perang dari dua sudut pandang: sudut pandang seorang teoritisi dan sejarawan sekaligus. Sebagai teoretisi, pandangan Ibnu Khaldun tentang perang terlihat dalam al-Muqaddimah, bab “Perang dan Pengaturannya Menurut Berbagai Bangsa.” Dalam bab tersebut Ibnu Khaldun menjelaskan alasan-alasan peperangan, strategi-strateginya, dan aspek-aspek dasar pemenangannya. Dalam ulasannya itu, Ibnu Khaldun berangkat dari sebuah aksioma dalam sejarah umat manusia sejak zaman paling purba atau masa primordial. Di situ dia menyatakan bahwa perang adalah “hal yang natural dalam sejarah umat manusia, dan hampir tidak ada suatu bangsa atau generasi yang terbebas darinya.” Kita tidak tahu apakah yang dimaksud Ibnu Khaldun “natural” di situ adalah soal naluri untuk selalu bermusuhan yang melekat pada diri manusia seperti mayoritas hewan pada umumnya, ataukah soal bagaimana manusia telah terbiasa melakukan perang sejak awal penciptaan mereka sehingga menjadi watak yang melekat pada diri mereka.
Menurut Ibnu Khaldun akar peperangan adalah “keinginan balas dendam sebagian orang terhadap sebagian yang lain” yang dipicu oleh empat faktor:
Faktor pertama karena kecemburuan dan persaingan. Hal ini sering terjadi di antara suku-suku yang hidup berdekatan dan klan-klan yang saling bersaing. Perang jenis ini termasuk dalam kategori perang tak adil, semata-mata dilakukan demi perebutan tanah dan sumber daya alam, atau semata-mata demi memaksakan hegemoni dan memperluas pengaruh kekuasaan.
Kedua, faktor agresi perampokan. Faktor ini paling sering terjadi pada suku-suku primitif yang tinggal di gurun pasir karena mereka mengandalkan ketajaman tombak sebagai sumber rezeki. Mereka tidak mencari pangkat atau kedudukan melalui perang, tetapi sekadar menginginkan sesuatu di tangan orang lain dan berusaha untuk merebutnya secara paksa sebagai bentuk mata pencaharian mereka.
Ketiga, faktor kemarahan karena Tuhan dan agama, atau yang disebut dalam syariat sebagai “jihad.” Perang jenis ini secara umum mencakup semua bentuk perang agama, atau peperangan yang menggunakan dalih agama.
Keempat, karena faktor kemarahan demi kekuasaan dan atau upaya untuk membangunnya. Perang negara melawan mereka-mereka yang menentang kekuasaan dan menolak untuk mematuhinya, termasuk dalam perang jenis keempat ini. Selain itu, termasuk juga di dalamnya, perang yang dikobarkan demi mendirikan atau memaksakan kekuasaan suatu negara.
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menyederhanakan empat jenis perang tersebut menjadi dua kategori saja: “perang tidak-adil dan semata-mata demi perselisihan,” yang mencakup perang kecemburuan, persaingan, dan perang agresi, dan “perang jihad dan perang adil,” yang mencakup perang-perang untuk menegakkan panji-panji keadilan dan perang negara dengan pihak yang menentangnya.
Tidakkah kita dapat memahami dari sini, bahwa Ibnu Khaldun secara moral lebih membenarkan jenis perang tertentu dibandingkan yang lainnya. Dia menilai perang-perang tertentu memiliki kecenderungan jahat (ketidakadilan dan demi perselisihan semata), sementara beberapa lainnya mengandung kecenderungan baik (demi jihad dan menegakkan keadilan)?
Hal paling penting adalah bahwa Ibnu Khaldun pada akhirnya menawarkan klasifikasi yang jelas tentang perang berlandaskan pada aspek tujuan berperang dan juga landasan etik tentang baik dan buruk, terlepas dari pandangan kita tentang standar dan legitimasi perang secara umum.
Dalam bab yang sama, Ibnu Khaldun juga membahas beberapa aspek perang yang dalam bahasa kita saat ini dikenal sebagai strategi/rencana perang, pengorganisasian tentara, dan faktor-faktor yang dapat memenangkan perang. Dalam pembicaraannya tentang strategi ketentaraan yang berlaku pada masa itu, Ibnu Khaldun membedakan dua jenis aksi militer lapangan: berbaris dalam satu barisan (infanteri) di satu sisi, dan pasukan dengan strategi “serang dan kabur” (menggunakan kavaleri) pada sisi lain. Dia juga mencatat bahwa jenis yang pertama adalah strategi umum yang dilakukan untuk “melawan pasukan non-Arab dari generasi ke generasi,” sedangkan taktik “serang dan kabur”digunakan untuk “melawan Arab dan suku Berber di kawasan Maghribi.”
Berdasarkan klasifikasi di atas, Ibnu Khaldun membandingkan watak pertempuran antara kedua pihak di atas, seraya menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang subjek yang dia bahas dan penguasaannya terhadap instrumen-intrumen kesejarahan dalam berbagai fase dari berbagai bangsa seperti Arab, Romawi, Persia dan Goth yang digunakannya dalam perbandingan. Ibnu Khaldun juga menunjukkan hasil perbandingan itu sejak awal: “Pertempuran infanteri jauh lebih rumit dan lebih dahsyat daripada pertempuran serang dan kabur ala kavaleri. Itu karena dalam pertempuran infanteri, suatu barisan harus diatur dan diluruskan sedemikian rupa seperti menyusun bejana ataupun shaf di dalam sholat. Dalam perang infanteri, mereka maju dalam satu barisan dan itu membuatnya lebih solid dalam serangan dan lebih menakutkan bagi musuh. Barisan ini ibarat tembok yang memanjang ataupun istana kokoh yang tidak mudah untuk diruntuhkan.”
Sementara pertarungan kavaleri yang bersifat hit and run “tidaklah memiliki intensitas dan jaminan akan dimenangkan seperti halnya pertempuran infanteri.” Jadi, tampak di sini bahwa Ibnu Khaldun lebih menyukai jenis pertempuran infanteri dan dia mengemukakan argumen penguatnya dari al-Qur’an surah As-Saff Ayat 4: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang menyerupai bangunan yang kokoh.” Sebuah hadis juga mengisaratkan itu: “Perumpamaan hubungan orang beriman dengan orang beriman lainnya itu ibaratkan sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menopang.”
Ibnu Khaldun juga membahas fenomena lain dari taktik militer dalam bentuk aksi gabungan antara pasukan kavaleri dan infanteri dengan “menyerang barisan di belakang tentara.” Taktik ini dijalankan dengan menempatkan benda mati ataupun hewan di belakang pasukan yang akan digunakan oleh tim kavaleri sebagai perisai bagi para ksatria dalam pertempuran dan pelarian, sekaligus demi “menguatkan mental dan keyakinan” tim infanteri dalam pertempuran.
Namun yang menarik dalam bab ini menurut kami adalah pembahasan Ibnu Khaldun tentang sebab-sebab kemenangan dalam perang. Hal paling unik adalah ungkapan Ibnu Khaldun bahwa kegemilangan dan kemenangan dalam peperangan adalah semata-mata “masalah keberuntungan dan kemujuran” (atau sesuatu yang bersifat kebetulan), dan “tak ada sesuatu yang dapat memastikan bahwa sebuah peperangan akan dimenangkan meskipun sebab-sebab kemenangannya sudah disiapkan sedemikian rupa.”
Ibnu Khaldun lebih lanjut menjelaskan teorinya bahwa sebab kemenangan dalam peperangan pada intinya ada dua. Pertama, faktor lahiriah seperti jumlah pasukan, kelengkapan senjata, volume keberanian, pengaturan pasukan, dan kesungguhan berperang. Kedua, kemenangan yang ditentukan oleh alasan-alasan tersembunyi yang berasal dari tipu muslihat dan kelicikan dalam peperangan, atau hal-hal supranatural yang tidak dapat ditentukan manusia dan datang begitu saja ke dalam sanubari pasukan seperti munculnya rasa gentar sehingga mereka meninggalkan posisi dan menderita kekalahan. Ibnu Khaldun bahkan mengklaim bahwa sebagian besar faktor kekalahan justru dipicu alasan-alasan tersembunyi ini, karena itu kedua belah pihak yang bertikai – seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun – banyak memusatkan perhatian pada aspek mental karena keinginan untuk menang mengandaikan salah satu kelompok terpengaruh secara psikologis dan mengalami pukulan yang sangat penting. Ibnu Khaldun menguatkan pendapatnya dengan mengutip sabda Rasulullah: “Perang pada hakikatnya adalah tipu muslihat.” Dalam pepatah Arab juga dijelaskan: “Tipu muslihat (hilah) tidak jarang lebih penting dari kabilah (kekuatan sosial).” Dalam bahasa sekarang, kita dapat menilai bahwa Ibnu Khaldun menyukai isu-isu taktis dalam peperangan seperti menguasai tempat-tempat tinggi, bersembunyi dari musuh untuk serangan mengejutkan, dan pentingnya aspek teror psikologis berupa mendatangkan rasa gentar dan kengerian pada musuh sehingga menyebabkan mereka mengabaikan aspek peralatan dan jumlah pasukan. Selain aspek-aspek taktis empiris tersebut, Ibnu Khaldun juga menambahkan faktor lain yang tidak kasat mata, yaitu tercapainya kemenangan karena hal-hal supranatural tadi dengan mengutip kemenangan Nabi melawan kaum musyrik dan kemenangan-kemenangan pada masa penaklukan Islam (futuhat).
Terlepas apakah alasan-alasan tidak kasat mata dari kemenangan itu disebabkan taktik dan muslihat, atau karena kekuatan supranatural, kesimpulan Ibnu Khaldun tetap saja sebagaimana dia utarakan di awal: kemenangan dalam peperangan bersifat “untung-untungan dan acak” karena faktor terjadinya sesuatu yang disebabkan oleh sebab-sebab tidak kasat mata itulah yang dimaksud Ibnu Khaldun sebagai untung-untungan (al-bakht). Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun juga menolak kaitan antara faktor kemenangan dengan aspek kelengkapan peralatan (‘iddah) dan jumlah pasukan (‘adad), dan dengan begitu membantah ulasan al-Tharthusyi yang mengaitkan kemenangan dalam perang dengan ketersediaan sejumlah pasukan dan ksatria pemberani. Al-Tharthusyi berteori bahwa “pihak yang mempunyai salah satu kelebihan saja dibanding lawannya akan cenderung meraih kemenangan.”
Ibnu Khaldun membantah teori kemenangan berdasarkan asimetri kuantitatif dan kualitatif antara kedua pihak yang bertikai dengan penjelasan lain yang sangat terkenal dalam pengantarnya, yaitu teori solidaritas sosial (al-‘ashabiyyah). Dalam teori ini dijelaskan bahwa unsur yang paling menentukan dalam mencapai kemenangan adalah kondisi solidaritas atau ikatan sosial (al-ashabiyyah). Kemenangan, dalam bingkai teori ini, akan berpihak kepada kelompok yang memiliki kesatuan solidaritas yang memadukan keseluruhan dibandingkan kelompok yang memiliki solidaritas sosial beragam. Ini dikarenakan solidaritas sosial yang beragam akan lebih rapuh karena mudah terpecah menjadi unit-unit terpisah yang tidak memiliki ikatan solidaritas sama sekali.
Demikianlah kita menemukan diri kita berada dalam pusaran pemikiran sejati Ibnu Khaldun yang menjelaskan fenomena-fenomena sejarah berdasarkan sistem konseptual dan analitis yang terpadu dan berporos pada teori tentang solidaritas sosial.
Psikologi Perang
Dalam bab lain dari pengantarnya yang mengulas soal “Lencana Raja dan Sultan,” Ibnu Khaldun berbicara tentang aspek psikologis dari pepeperangan, dengan mengulas topik pengerahan brigade dan spanduk, menabuh genderang, serta meniup terompet dan bebunyian selama perang yang dia sebut sebagai “instrumen” peperangan (al-alat). Ibnu Khaldun memberi penjelasan mengenai penggunaan instrumen-instrumen tersebut. Pertama, dengan mengutip penjelasan filsuf Yunani, Aristoteles, instrumen-instrumen tersebut dianggap berfungsi untuk menggentarkan musuh dalam peperangan, karena suara-suara dahsyat yang terdengar itu membawa dampak gentar bagi jiwa atau mendatangkan semacam intimidasi (al-tarwi’).
Ibnu Khaldun menganggap penjelasan ini relatif sah dan dapat diterima dengan beberapa pertimbangan. Hanya saja, penjelasan yang diyakininya lebih benar dan menjadi pendapat pribadinya adalah pernyataan bahwa “jiwa, tatkala mendengarkan nada dan suara, tak ayal lagi akan cenderung dipengaruhi kegembiraan dan kegairahan. Dengan suasana hati yang dilanda ekstasi itu, perkara sulit akan terasa mudah dan jiwa seseorang akan lebih kokoh dalam memperjuangkan apa yang sedang ingin dia capai.” Jadi, berbeda dengan pandangan Aristoteles, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa penggunaan spanduk dan alat musik dalam peperangan itu tujuan utamanya bukanlah untuk mempengaruhi psikologi musuh, namun lebih untuk menanamkan semangat juang dan meningkatkan moral prajurit sendiri.
Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun juga memberi penekanan khusus kepada pengaruh musik di kalangan orang non-Arab (seperti pengaruh syair di kalangan Arab), dalam meningkatkan adrenalin pejuang dan perjuangan. “Adapun soal memperbanyak spanduk atau bendera, warna-warni dan panjang-pendeknya, tujuannya tak lain hanya untuk intidimasi, tidak lebih” begitu penjelasan Ibnu Khaldun. Intimidasi yang dimaksudkan ini, dalam pandangan Ibnu Khaldun, bukanlah ditujukan kepada musuh, melainkan kepada pasukan yang sedang dikerahkan untuk melawan musuh, karena “intimidasi yang merasuk ke dalam jiwa dapat pula menambah keberanian (pasukan sendiri) untuk bertempur.”
Apa yang menarik dalam diskusi di atas adalah kecenderungan Ibnu Khaldun untuk berbeda pendapat dan menyanggah pemikiran-pemikiran dan teori-teori yang sudah mapan seraya mengajukan teorinya sendiri yang unik dan mencengangkan. Itulah salah satu bentuk kejeniusan Ibnu Khaldun yang sangat persuasif dan selalu mencari hal-hal dan penjelasan-penjelasan baru terhadap fenomena sosial dan kesejarahan.
Peperangan Laut
Dalam bab lain dari pengantar kitab yang sama, tentang ulasan peringkat raja-raja dan sultan serta gelar-gelar mereka, Ibnu Khaldun juga sempat membahas tentang topik peperangan laut. Pada bagian tersebut, dia berbicara tentang komando armada laut, terutama dalam bab tentang struktur kenegaraan dan langkah-langkah yang ditempuh Kerajaan Maghribi dan Afrika, serta cara mereka mengatur pasukan bersenjata dan kedaulatan wilayah mereka dalam banyak kasus. Topik pembahasan Ibnu Khaldun pada bagian tersebut berkisar tentang sejarah angkatan laut militer di cekungan Mediterania atau Laut Romawi (atau juga Laut Levantine).
Dari ulasan sejarah ini, kita dapat membaca peralihan kekuasaan pada kawasan maritim dari tepian utara (front utara dalam bahasa Ibnu Khaldun) dan tepian Romawi, Franka, dan Goth, ke tepian selatan, terutama tepian sungai yang dikuasai bangsa Barbar, Arab, dan kaum Muslim pada masa kejayaan mereka. Namun kekuasaan itu kembali berpindah kendali kepada front utara (khususnya kekuatan Spanyol) tatkala kekuatan umat Islam di armada laut menurun karena lemahnya negara dan pengabaian mereka akan pentingnya merawat kekuatan militer di laut, dan juga karena melimpahnya pendapatan badui di Maghribi serta terhentinya pemasukan dari Andalusia.
Kesimpulan
Demikianlah sekelumit tentang aspek perang yang diulas Ibnu Khaldun dalam pengantarnya atas kitab al-‘Ibar. Tidak syak lagi, pembacaan yang lebih cermat dan lebih mendalam atas karya agung ini tentu akan mengungkap aspek-aspek lain dari pengetahuan Ibnu Khaldun tentang topik ini.
Catatan kaki
*Abu Bakar al-Tharthusyi adalah seorang ahli fikih Maliki. Dia lahir di kota Tortosa-Andalusia pada tahun 451 H. Dia melakukan perjalanan ke timur untuk belajar dari para ulama, lalu sempat mengajarkan ilmu fikih dan hadis di Alexandria, Mesir. Al-Tharthusyi wafat pada tahun 520 H/1127 M. Salah satu karyanya yang paling penting adalah kitab Siraj al-Muluk fi Suluk al-Muluk (Lentera Para Raja dalam Bertindak Tanduk)
.Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah al-Insani pada 22 November 2018. Versi Arabnya dapat dibaca di tautan ini. Versi Indonesia artikel ini diterjemahkan oleh redaksi INSANIA semata-mata untuk memperkaya wawasan dan menambah rujukan pembaca kami tentang khazanah perang dan Hukum Humaniter Internasional.