Hukum Perang dalam Islam dan Hukum Humaniter Internasional: ‘Pekerjaan Rumah’ bagi para Fuqaha
Oleh: Fajri Matahati Muhammadin, S.H., LL.M., Ph.D
PENDAHULUAN
Perang selalu merupakan bagian penting dalam sejarah dan hukum Islam. Jihad, yang maknanya mencakup (walupun tidak terbatas pada) jihad fisik dalam perang, adalah salah satu bentuk ibadah yang paling utama dalam ajaran Islam. Sejak zaman dahulu kala, khazanah literatur fikih selalu mencakup hukum-hukum perang. Ada yang berbentuk bab dalam kitab-kitab fikih besar semacam Al-Umm-nya Imam Syafi’i, atau kitab khusus tentang perang semisal Masyari al-Asywaq-nya Imam Ibn Nuhaas. Dalam berbagai literatur tentang fikih siyar (hukum internasional Islam), antaranya Siyar al-Kabir-nya Imam Syaibani (kini kitab tersebut Cuma ada dalam bentuk syarah oleh Imam Sarakhsi) atau Kitab Al-Siyar-nya Imam Al-Fazari, biasanya hukum tentang perang dan jihad merupakan bahasan yang pokok. Sebagaimana dijelaskan oleh Khaled Ramadan Bashir, fikih siyar jelas lebih tua dan bahkan nampak mempengaruhi hukum internasional Eropa pada perkembangan awalnya, baik secara umum maupun pada hukum perang secara khusus. Menurut Jean Pictet, umat Islam sangatlah berperan penting dalam perkembangan sejarah hukum humaniter internasional (HHI), yaitu hukum internasional yang khusus membahas tentang hukum yang berlaku ketika perang berlangsung.
Di era kontemporer ini, di mana hukum Islam dan HHI telah berkembang dengan jalan dan caranya masing-masing, ternyata terjadi hubungan dialogis antara pakar-pakar HHI dan hukum Islam. Misalnya, Palang Merah Internasional (ICRC) telah melaksanakan dialog-dialog dengan para ‘ulama dan pakar hukum Islam di berbagai belahan dunia, misalnya di Cairo, Aceh, dan Geneva. Kebetulan saya mendapat kehormatan untuk dapat menghadiri event tersebut yang diselenggarakan di Aceh (2017) dan Geneva (2018) . Pada event-event itu, setidaknya yang saya berpartisipasi di dalamnya, biasanya berakhir dengan agak bahagia: hukum Islam dan HHI memiliki banyak kemiripan dalam prinsip-prinsip umum perlindungan terhadap orang-orang tertentu dalam perang. Dengan demikian, tentu diharapkan bahwa perang-perang yang melibatkan umat Islam seharusnya lebih patuh kepada hukum-hukum perang, karena mematuhi hukum Islam adalah bagian dari menyembah Allah.
Akan tetapi, dalam berbagai perang yang melibatkan umat Islam di masa kini, banyak dugaan pelanggaran HHI oleh kelompok-kelompok yang mengklaim menerapkan Syariat Islam, antaranya ISIS dan Taliban, yang menyebabkan banyak orang yang harusnya dilindungi dalam perang malah justru jatuh sebagai korban. Apakah ini terjadi karena hukum Islam dan HHI sejatinya prinsip-prinsipnya tidak sejalan? Atau, hukum Islam dan HHI prinsip-prinsipnya memang sejalan, tapi kelompok-kelompok ini melanggar hukum-hukum mereka sendiri?
Walaupun sebagian pihak bergembira dengan adanya kesejalanan antara hukum Islam dan HHI pada sebahagian hal, ternyata ada sebahagian lain hal di mana terjadi ketidaksejalanan pada berbagai masalah yang rinci sehingga inilah yang dapat menimbulkan korban. Dalam sebahagian isu ketidaksejalanan antara Islam dan hukum internasional, masalahnya adalah ‘konflik antar-worldview’, misalnya perdebatan Islam dan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, dalam hal Islam dan HHI, saya mendapati bahwa masalah ketidaksejalanan ini terjadi justru karena literatur hukum Islam kontemporer agak tertinggal dalam mengevaluasi dan memformulasikan fikih-fikih yang mutakhir untuk mengantisipasi masalah-masalah yang baru terjadi di peperangan kontemporer sedangkan masalah tersebut tidak ditemukan dalam literatur klasik.
Maka hasilnya, dalam sebahagian besar kasus, adalah masalah yang tidak dikehendaki oleh Islam maupun HHI: kurangnya perlindungan bagi mereka yang berhak mendapatkannya. Yang saya dapati adalah dua masalah utama: kurangnya karya yang komprehensif membahas hubungan fikih siyar dan hukum internasional, serta kurangnya kajian komprehensif terkait hukum yang mengatur berbagai aspek rinci peperangan yang tidak ditemukan di literatur klasik.
Isu Pertama: Hubungan antara Fikih Siyar dan Hukum Internasional
Hukum yang mengatur tentang pertikaian bersenjata merupakan cabang dari hukum internasional, sebagaimana hukum Islam tentang perang (fikih jihad) juga merupakan cabang dari fikih siyar. Akan tetapi, saya mendapati ada ketertinggalan dalam literatur fikih siyar dalam menjelaskan bagaimana ia berhubugan dengan hukum internasional.
Ada beberapa pendekatan yang problematik, misalnya ada sebagian Ulama dan pakar yang nampak melampau dalam menyatakan kesejalanan antara Islam dan huku internasional. Misalnya, Nesrine Badawi berpendapat bahwa beberapa ulama besar seperti Syaikh Wahbah Al-Zuhayli dan Syaikh Muhammad Abu Zahrah (rahimahumullaah) terlalu gegabah mengkompromikan standar-standar syariat Islam sekedar untuk menunjukkan bahwa Islam telah sejalan dengan standar-standar hukum internasional. Beberapa pakar lain semisal Ebrahim Afsah bahkan berpendapat bahwa umat Islam praktis lupakan sajalah hukum Islam dan pakai standar internasional yang berlaku, dan ini dikritisi dengan keras oleh pakar lain semisal Khaled Bashir.
Pendekatan lain yang juga bermasalah adalah pada kelompok yang seringkali dilabeli sebagai ‘ekstrimis’ yang menolak hukum internasional secara mutlak. Misalnya, salah satu ulama besar Al-Qa’idah Abu Muhammad Al-Maqdisi menyatakan bahwa Saudi Arabia adalah sebuah negara kafir karena telah tunduk pada hukum internasional yang tidak Islami dan juga kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mungkin banyak yang akan terkejut, tapi pandangan Al-Maqdisi ada benarnya.
Mengimani adanya hukum yang lebih baik daripada yang diturunkan oleh Allah adalah pembatal keislaman menurut ijma ‘ulama. Seorang Muslim yang meyakini hal tersebut dapat di-takfir (dikafirkan, atau dinyatakan murtad), walaupun harus dicatat bahwa men-takfir tidaklah boleh sembarangan dan ada ‘prosedur’-nya. Bagaimanapun juga, sumber hukum dalam Islam hanyalah dari Allah. Sebagaimana dijelaskan Imran Ahsan Nyazee Khan (2003), sumber-sumber hukum lain hanyalah derivasi dari apa yang Allah turunkan.
Akan tetapi, ternyata jelas bahwa fikih siyar memiliki irisan dengan hukum internasional. Muhammad Hamidullah (2011) menjelaskan bahwa fikih siyar mengakui perjanjian dan kebiasaan internasional (yang merupakan sumber-sumber hukum internasional yang paling utama) sejak era klasik dulu. Menaati perjanjian (yang tidak bertentangan dengan Syariat) adalah sebuah kewajiban dalam agama dan mengkhianatinya adalah di antara tanda kemunafikan. Di sisi lain, mengikuti kebiasaan (yang juga tidak bertentangan dengan Syariat) adalah termasuk di antara sumber hukum sekunder dalam Islam. Dengan demikian, sangat penting untuk kita mengkaji secara komprehensif kritik Al-Maqdisi alih-alih menolaknya sekedar karena label ‘ekstremis’. Masing-masing perjanjian dan kebiasaan internasional harus dikaji dengan teliti sebelum menyimpulkan apakah ia bertentangan atau tidak dnegan Syariat, bukannya menolak atau menerima dengan mutlak.
Tapi ini cuma cara tradisional saja untuk melihat hukum internasional. Sebuah pendekatan konstruktivis yang lebih kontemporer adalah dengan mengamati trend international law-making. Sebagaimana dijelaskan Catherine Brölmann, trend tersebut melihat hukum internasional memiliki “…aturan yang bersifatseperti perundang-undangan, di atas dan di luar hukum yang mengatur hubungan hukum sukarela antara subyek yang setara.” Belum lagi jika mempertimbangkan jus cogens dan obligatio erga omnes, yang dianggap sebagai norma tertinggi hukum internasional yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Khususnya terkait hukum yang mengatur perang, HHI kebanyakannya dianggap termasuk dalam norma jus cogens, dan banyak perjanjian-perjanjian HHI (misalnya Geneva Conventions 1949 I-IV) juga merupakan perjanjian yang bersifat law-making.
Ada pakar-pakar hukum internasional semisal Antony Anghie (2004) dan banyak lainnya yang menjelaskan betapa negara-negara berkembang tidak pernah memiliki kesempatan yang adil untuk terlibat dalam proses international law-making tersebut. Sayangnya, negara-negara Muslim termasuk di antaranya. Maslaahnya lagi, nampak para ‘Ulama masih kurang perannya dalam mengantisipasi hal ini. Nampaknya semua literatur fikih siyar, klasik maupun kontemporer, ditulis dengan landasan asumsi bahwa negara Islam memiliki kedaulatan penuh dan hanya akan menerima norma apa yang ia sepakati. Syaikh Wahbah Al-Zuhayli (2011) menyadari bahwa konsep kedaulatan makin tergerus dalam perkembangan hukum internasional kontemporer. Akan tetapi, sebagaimana mayoritas (atau bahkan semua) literatur fikih siyar kontemporer, beliau tidak menjelaskan bagaimana negara Islam memposisikan trend international law-making dalam kerangka berfikir fikih siyar. Khususnya, terkait sumber-sumber hukum yang dapat mengikat walaupun tidak ada persetujuan secara langsung (misalnya soft law). Dengan demikian, lebih banyak penelitian diperlukan terkait hal ini.
Isu Kedua: Kurangnya Rincian Dalam Perumusan Hukum
Saya mendapati bahwa ada kekurangan besar dalam perincian hukum ketika para ‘ulama kontemporer menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul dalam perkembangan peperangan modern. Dalam banyak literatur tentang hubungan HHI dan Islam (misalnya yang diterbitkan oleh ICRC, antaranya antologi yang disunting oleh Ammeur Zemmali), banyak pakar yang cukup berpuas hati dengan menyatakan bahwa Islam mengajarkan kemanusiaan dalam perang karena “Nabi ﷺ melarang membunuh perempuan, anak-anak, dan manula dalam perang.” Tentunya hal tersebut tidaklah keliru, tapi ada begitu banyak isu rinci yang belum dibahas dalam literatur fikih kontemporer.
Misalnya, seberapa serupakah konsep “partisipasi dalam pertempuran” (participation in hostilities)antara HHI dengan Islam? Sulit mencari literatur fikih terkait hal ini. Salah satu isu spesifik yang dibahas di Expert Workshop tentang Islam dan HHI di Geneva tahun 2018 adalah terkait status tenaga medis di medan perang. Akan tetapi masih ada banyak pertanyaan lain, misalnya status polisi yang tidak dalam fungsi tempur, pasukan cadangan, dan lain sebagainya. Sebagaimana ditulis Al-Dawoody (2011), ada beberapa kategori orang yang tidak spesifik disebut sebagai ‘terlindungi’ dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, tapi para ‘ulama silam mengkategorikannya sebagai orang yang harus dilindungi dalam perang (misalnya orang yang sakit parah). Hal tersebut dilakukan karena adanya kaidah umum melarang menyerang mereka yang tidak berpartisipasi dalam pertempuran. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa sekadar kaidah-kaidah umum tidaklah cukup, melainkan diperlukan hukum-hukum yang lebih rinci.
Contoh lain, para ‘ulama nampak tidak menjelaskan permasalahan senjata modern (semisal bom dan peluru kendali) dengan komprehensif. Dalam kitabnya Fi Al-Jihad: Adab wa Ahkam, Syaikh Abdullah Azzam menggunakan qiyas dengan riwayat Nabi Muhammad ﷺ (memperbolehkan menggunakan manjaniq) untuk menyimpulkan bolehnya menggunakan bom dan peluru kendali, tapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Belum ada penjelasan yang rinci tentang bagaimana menghindari collateral damage (kerusakan tambahan yang tidak disengaja) akibat senjata-senjata ini, yang justru merupakan kekhawatiran utama terhadap penggunaan senjata-senjata semacam ini. Muhammad Thala’at Al-Ghunaymi (2012) menjelaskan bahwa pasukan Muslim harus berupaya tidak mengarahkan senjata-senjata tersebut kepada warga sipil, arahan ini tidak didapat di kebanyakan literatur lain, tapi tentunya tidak sesederhana itu. Bandingkan ini dengan komprehensifnya Pasal 51, 57, dan 58 pada Additional Protocol I tahun 1977 yang menjabarkan suatu prinsip proporsionalitas untuk meminimalkan collateral damage.
Di sisi lain, ada ‘ulama lain antaranya Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy yang berpendapat bahwa senjata-senjata modern seperti ini hanya boleh digunakan dalam perang defensif dan bukan dalam perang ofensif. Memang betul bahwa keunggulan dalam persenjataan bukanlah satu-satunya faktor untuk memenangkan perang. Akan tetapi, melarang penggunaan bom dan peluru kendali ketika melawan musuh yang justru menggunakannya bisa dikatakan sama saja dengan bunuh diri. Nampaknya pendapat ini kurang realistis. Terlebih lagi, dalam konteks perang defensif, Syaikh Al-Qaradawy membolehkan penggunaan senjata-senjata ini tanpa menyebut pentingnya menghindari collateral damage.
Hukum Islam melarang membunuh orang yang bukan kombatan selama perang dan mentolerirnya ketika hal tersebut tidak terhindarkan, tapi ini tidak boleh dianggap ringan. Suatu kaidah fikih berbunyi al-darūratu tuqaddira bi qadarihā (kedaruratan diukur sesuai kadarnya), dan Al-Qur’an melarang orang-orang yang melampaui batas dalam perang. Sayangnya, dengan kurangnya aturan yang rinci, kaidah-kaidah umum seperti ini sulit dilaksanakan dengan baik.
Di atas adalah sekadar beberapa contoh saja yang menunjukkan perlunya para fuqaha untuk menjabarkan hukum dengan lebih rinci untuk beraneka masalah baru yang muncul dalam trend perang kontemporer. Di sinilah saya mendapati bahwa bisa saja hukum Islam mengadopsi sebahagian isi HHI sekadar untuk membantu menjabarkan kaidah-kadiah umum yang dikenal dalam Islam, tentunya dengan menyaring dan membuang apa yang tidak sejalan dengan Syariat Islam. Hal ini dimungkinkan bukan hanya untuk meminimalisir collateral damage melainkan dalam banyak hal lain, misalnya dalam menentukan status kombatan, supaya lebih banyak perlindungan dapat diberikan kepada mereka yang berhak atasnya.
Kesimpulan
Ada beberapa alasan kenapa diperlukan kajian yang lebih rinci dan komprehensif dalam hukum perang dalam Islam. Dari perspektif hukum internasional, sangat diperlukan kajian komparatif dan komprehensif demi meningkatkan legitimasi hukum internasional dalam klaim ‘universal’-nya, apalagi dalam menanggapi serangan sengit dari para pakar hukum beraliran TWAIL (Third World Approaches to International Law). Selain itu, ketika para pihak yang berperang merasa diperintah dalam agamanya untuk mematuhi hukum, diharapkan hal ini dapat mengurangi keburukan-keburukan yang terjadi selama perang. Bisa jadi ikatan agama terhadap hukum yang serupa dengan HHI adalah lebih efektif daripada sekedar mengandalkan HHI. Apalagi HHI mengalami masalah besar dalam kepatuhan, dan bahkan ada perdebatan tentang apakah aktor non-negara dapat terikat pada HHI secara hukum.
Dari perspektif Syariat Islam, lebih besar kebutuhannya untuk melakukan kajian yang lebih mendalam terkait hal ini. Kurangnya kajian ini bisa mengakibatkan banyak masalah karena ada orang-orang yang tidak diberikan perlindungan yang mereka berhak atasnya. Apabila kurangnya perlindungan ini adalah akibat kurangnya rincian dalam hukumnya, maka para fuqaha harus menyelesaikan permasalahan ini sebagai sebuah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam.
Catatan: Artikel ini adalah terjemahan dari aslinya yang berbahasa Inggris berjudul berjudul “Islamic Laws of War and International Humanitarian Law: Big Homework for Islamic Jurists” dipublikasikan di Opinio Juris. Versi terjemahan bahasa Indonesia sebelumnya telah terbit di laman blog penulis.