Hikayat Prang Sabi : Perlawanan Melalui Sastra

Hikayat Prang Sabi : Perlawanan Melalui Sastra

Oleh: Mumtazinur, M.A.

Bagi para penikmat sastra maupun para peminat kajian perang, konflik dan damai tentu pernah mendengar sebuah epos yang dikenal dengan Hikayat Prang Sabi. Karya sastra ini ditulis oleh Seorang ulama yang Bernama Tengku Chik Pante Kulu yang ditulis sekitar 40 tahun sebelum perang besar antara Aceh dan Belanda pada tahun 1873. Hikayat ini memuat 4 kisah utama yang terdiri dari Kisah Ainul Mardhiah, Kisah Pahala Syahid,  Kisah Said Salmi, dan Kisah Muda Bahlia. Kisah-kisah fiktif tersebut ditulis guna memberikan semangat kepada Masyarakat Aceh kala itu untuk melawan penjajahan Belanda.

Selayaknya sebuah dakwah, hikayat ini terus dibacakan dan disyairkan terus menerus dari pejuang ke pejuang, dari ulama ke masyarakat, dari masyarakat ke masyarakat, bahkan dari ibu ke anak melalui syair pengantar tidur. Nyatanya, sastra puisi ini memberikan pengaruh yang begitu besar bagi para pejuang Aceh untuk jihad fi sabillah. Belanda melihatnya sebagai sebuah ancaman yang provokatif sehingga menyita dan menghukum siapa saja menyebarluaskan hikayat Prang Sabi ini.

Tak mengherankan bila Belanda begitu membenci geliat dakwah Hikayat Prang Sabi dikalangan masyarakat Aceh mengingat salah satu yang menonjol dari karya sastra kuno ini adalah isi naskahnya yang berupa ajakan untuk memerangi kaphe (kafir) Belanda. Isinya begitu tegas dan lugas mendorong orang-orang Aceh agar berperang sebagai bagian dari fardhu ain. Alhasil syair ini dilantunkan di dayah hingga meunasah (musholla) menjelang pertempuran  melawan serdadu Belanda.

image: tengkuputeh.files.wordpress.com/

Bukan tanpa alasan mengapa kemudian hikayat ini mampu memberikan energi yang begitu besar bagi bangsa Aceh untuk melakukan perlawanan. Tradisi membaca hikayat sebelum terjun ke medan perang nyatanya telah menjadi kebiasan turun temurun dalam kebudayaan Melayu. Belum lagi diramu dengan begitu apik tentang bagaimana seorang muslim harus berjuang mempertahankan agama Allah serta janji surga Firdaus dan sambutan para bidadari surga jika syahid. Berikut beberapa penggalan syair dalam Hikayat Prang Sabi:

Dalam Kitab meunan geupeugah, Firman Allah ngon hadih Nabi

(Demikian dikatakan dalam Kitab, Firman Allah dengan hadith Nabi)

He teungku cut ade’sahbat, firman Hadarat Tuhanku Rabbi Sigala na dum ibadat

(Wahai tuan adinda sahabat, firman Hadarat Tuhanku Rabbi Dari semua ibadat yang ada) Nyang leubeh that taja’ prang sabi Lafad hadih tan Ion baca, ma’na sahaja lon boh sini

(Yang terlebih mulia berperang sahil, Kutipan hadith tak hamba baca, hanya makna tertulis di sini)

Hadih Nabi cit that saheh, hana rot weh ba’ prang sabi

(Hadith Nabi sangat sekali saheh, tak ada jalan lari dari perang sabil)

Neubri bulueng han puedaleh, cit ka teupreh syeuruga tinggi

(Imbalan diberi tanpa alasan, memang ’lah tersedia surga nan tinggi

Meunan meuteumeung jeueb-jeueb kitab, pangulie ibadat cit prang sabi

(Demikian didapat di setiap kitab, utama ibadat memang perang sabil)

Deungo teungku Ion beuet ayat, firman Hadarat Tuhanku Rabbi 9

(Dengarlah tuan kubaca ayat, firman Hadarat Tuhanku Rabbi)

Inna ‘llaha ’sytara mino ‘i-mu’minina anfusahum wa amwalahum bianna lahumu

Soe prang kaphe lam prang sabi, niet petinggi hak agama

(Barangsiapa memerangi kafir dalam perang sabil dengan niat membela agama)
Kalimat Allah agama Islam, kaphe jahannam asoe nuraka

(kalimat Allah agama Islam, Kafir Jahannam isi neraka)

Sabilullah geupeunan prang, tuhan pulang page syeuruga

(Sabilullah dinama Perang, tuhan berikan akhirnya surga)

Ikut suroh sampoe jan, pahala page that seumpurna

(Mengikut suruhan sampai ajal, pahala nanti sangat sempurna)

Penggalan diatas hanya beberapa dari ratusan bait syair yang terdapat dalam Hikayat Prang Sabi. Tengku Chik Pante Kulu dengan tegas serta lugas mengajak segenap orang Aceh untuk melawan penjajah Belanda. Tak lupa juga diselipkan ‘imbalan’ jika boleh dikatakan demikian atas keberanian para pejuang tersebut bila nantinya mati syahid di medan perang karena membela kebenaran atas nama agama. Bila membaca keseluruhan bait-bait tersebut rasanya mustahil untuk menolak hasrat jiwa yang menggebu-gebu dari orang Aceh untuk melakukan perlawanan.

Sejatinya, sebuah sastra selalu berisikan hal-hal yang indah yang membuat penikmat dan peminatnya merasakan perasaan Bahagia dan tenang. Namun, Sejarah mencatat bahwa sebuah karya sastra juga mampu menjadi manifestasi dari sebuah bentuk perlawanan. Hal yang boleh jadi tidak menjadi ekspektasi para pembacanya. Pun demikian, beberapa karya sastra yang berisi perlawanan tidak bisa dilupakan telah berjasa untuk mengobarkan semangat para pejuang. Sebut saja buku “Habis Gelap Terbitlah terang” karya RA.Kartini pada awal abad ke-20, atau tulisan Ki hajar Dewantara Dengan judul “Seandainya aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam sebuah harian, dan beberapa karya lain di berbagai belahan dunia.

Dalam hal ini, bolehlah kiranya kita juga memasukkan Hikayat Prang Sabi kedalam sederetan  daftar karya-karya sastra perlawanan yang pernah ada. Bahkan mungkin hikayat ini tidak hanya bisa disebut sebagai sastra perlawanan namun juga manifestasi dari nilai patriotisme dan ketaatan. Kontribusi hikayat ini, meskipun dibenci oleh Belanda namun mampu menjadi media pemersatu bangsa Aceh dalam mengusir para penjajah Belanda.

image: thepatriots.asia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*