Depok, 11 Oktober 2024 – Dalam upaya menguatkan perlindungan sipil dan objek sipil di situasi konflik bersenjata, cendekiawan Islam memainkan peran penting sebagai penjaga prinsip-prinsip kemanusiaan yang tertuang dalam hukum Islam. Hal ini menjadi salah satu sorotan utama dalam 7th Certificate Course on International Humanitarian Law (IHL) and Islamic Law Related to Armed Conflict yang diselenggarakan oleh ICRC bersama INSANIA dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada 9-12 Oktober 2024 di Depok.
Dalam sesi yang membahas “Perlindungan Sipil dalam Konflik: Studi Kasus di Dunia Muslim,” para peserta dari kalangan akademisi, praktisi hukum, dan diplomat Indonesia diajak untuk mendalami relevansi hukum Islam dalam perlindungan warga sipil dan objek sipil di situasi konflik bersenjata. Hukum Islam, dengan konsep perlindungan seperti al-dhimma dan larangan menyerang non-kombatan, memiliki kesamaan prinsip dengan hukum humaniter internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa.
Peran Kunci Cendekiawan Islam
Ziaullah Rahmani, Penasihat Regional ICRC untuk Hukum Islam di Islamabad, menekankan bahwa cendekiawan Islam memiliki tanggung jawab besar dalam mengedukasi dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan ini dalam konteks konflik bersenjata modern. Menurutnya, kolaborasi antara ICRC dan institusi Islam, seperti yang dilakukan dalam kursus sertifikasi ini, dapat menguatkan sinergi antara hukum Islam dan IHL dalam menjaga martabat manusia.
“Cendekiawan Islam adalah ujung tombak dalam memastikan bahwa prinsip-prinsip perlindungan kemanusiaan yang ada dalam hukum Islam terus relevan dan diterapkan di lapangan. Peran mereka sangat penting dalam menyebarkan pemahaman yang benar tentang perlindungan sipil dalam situasi kekerasan,” jelas Rahmani.
Studi Kasus Perlindungan Sipil di Dunia Muslim
Sesi ini juga membahas studi kasus dari berbagai negara Muslim yang mengalami konflik bersenjata, seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara. Para peserta mengeksplorasi bagaimana hukum Islam diterapkan dalam melindungi warga sipil, harta benda sipil, serta penanganan tawanan perang. Diskusi interaktif yang difasilitasi oleh pakar hukum dari ICRC memberikan wawasan mendalam tentang tantangan yang dihadapi dalam implementasi prinsip-prinsip tersebut.
Adhiningtyas S. Djatmiko, Penasihat Hukum ICRC Jakarta, menjelaskan bahwa hukum humaniter internasional dan hukum Islam memiliki kesamaan dalam prinsip-prinsip dasar perlindungan, seperti prinsip pembedaan, proporsionalitas, dan kehati-hatian dalam operasi militer. Namun, penerapan prinsip-prinsip ini dalam situasi konflik bersenjata di negara-negara Muslim sering kali menghadapi kendala, baik dari segi politik maupun sosial.
“Perlindungan sipil adalah salah satu isu yang paling krusial dalam hukum humaniter, dan hukum Islam memberikan panduan yang jelas terkait hal ini. Tetapi, dalam konteks konflik modern, penerapannya membutuhkan dukungan kuat dari cendekiawan Islam dan masyarakat lokal,” ujar Djatmiko.
Membangun Sinergi untuk Perlindungan yang Lebih Baik
Melalui kursus ini, para cendekiawan, diplomat, dan akademisi diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan pemahaman tentang perlindungan sipil berdasarkan hukum Islam dan IHL. Para peserta juga didorong untuk terus membangun sinergi antara prinsip-prinsip agama dan hukum internasional dalam upaya mengurangi penderitaan korban konflik.
“Kami berharap kursus ini dapat menjadi titik awal untuk memperkuat dialog antara cendekiawan Islam dan komunitas internasional, sehingga perlindungan terhadap warga sipil dapat lebih efektif, baik dalam hukum Islam maupun hukum humaniter internasional,” kata Rahmani.
Acara ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara ICRC dan institusi Islam, seperti INSANIA dan UIII, tidak hanya memperkuat pemahaman akademis, tetapi juga membawa dampak nyata dalam perlindungan korban konflik di berbagai belahan dunia.