Bolehkah Wanita Ikut Berperang dalam Islam?
image: Tribun Jogja

Oleh: Baihaqi Ibnoe Hakim, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Pemenang Juara Harapan Lomba Menulis Artikel Islam & Konflik Bersenjata INSANIA

Abstrak

Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan dengan derajat yang sama, yang membedakan hanyalah keimanan dan ketaqwaannya. Al-Qur`an menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam mambangun kehidupan yang berkualitas sebagaimana dicita-citakan ajaran Islam. Derajat laki-laki dan wanita tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan pada kualitas masing-masing. Terhadap produk-produk fiqh seperti kesaksian, imamah sholat ,pembagian warisan, dan lain-lain tidak tertutup peluang untuk dilakukan ijtihad ulang, sebab fiqh hanyalah sebuah produk pemikiran yang kebenarannya bersifat relatif. Fiqh biasanya berusaha sesuai dengan ketentuan zaman.

Kata Kunci : Laki-laki, Perempuan, Islam

Pendahuluan

Sejarah mencatat ada banyak sekali peristiwa yang menunjukkan bahwa perempuan seringkali mendapatkan perlakuan yang amat menyedihkan sebelum datangnya Islam. Dalam masyarakat Mekkah di masa jahiliyah, seorang perempuan yang baru saja melahirkan bayi perempuan, terpaksa harus menyerahkan anaknya kepada suaminya untuk melaksanakan tradisi yang biasa orang-orang Mekkah lakukan yaitu mengubur bayi perempuannya hidup-hidup, pada zaman itu ada keyakinan bahwa setiap anak perempuan yang lahir harus dibunuh karena khawatir nantinya akan menikah dengan orang yang berkedudukan rendah atau Muwali.1

Kisah itu diceritakan didalam Al-Qur`an sebagaimana dalam firman Allah yang artinya : “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah mereka akan memeliharanya ataukah menguburnya kedalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.2

Ketika Islam datang ke dunia ini, Allah SWT telah mengangkat posisi perempuan ke  derajat yang lebih tinggi, memberikan kebebasan, kehormatan dan hak pribadinya secara merdeka. Allah SWT memberikan kepada perempuan hak untuk memilih baik dalam akidah, pernikahan, dan semua sisi kehidupan lainnya.3 Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai agama yang rahmatan li al`alamin, yang artinya agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta. Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap ketuhanan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki.4

Jihad dan Perang

Secara bahasa, jihad bermakna berusaha secara sungguh-sungguh. Dalam konteks ajaran islam, jihad adalah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyebarkan keimanan dan firman-firman Allah ke seluruh dunia.5 Jihad mewakili upaya total untuk menegakkan keadilan, sejauh menyangkut hubungan seseorang dengan tuhan, interpersonal dalam hubungannya dengan keluarga dan komunitas terdekat mereka, komunal dalam hubungan negara dengan warganya, dan global dalam hubungan luar negeri negara.6 Oleh karena itu, jihad dapat dimaknai dalam konteks pribadi, komunitas masyarakat, maupun kedaulatan bernegara.

Menurut Alwi Shihab, dalam peristilahan al-Qur`an, jihad dibagi menjadi 2 kategori yaitu: pertama jihad fi sabilillah dan kedua jihad fillah. Yang pertama yang dimaksudkan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk didalamnya pengorbanan harta dan nyawa. Dengan demikian salah satu bentuk hilangnya nyawa seseorang dalam suatu konfotasi fisik. Sedangkan yang dimaksud dengan kategori kedua ialah usaha untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan erat antara seseorang dengan Allah SWT.7

Kisah Nusaibah binti Ka`ab Perempuan Perisai Rasulullah

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H), dalam salah satu kitabnya menceritakan sebuah riwayat perihal Nusaibah, saat ditanya perihal luka-luka yang menyayat badannya, kemudian ia menceritakan kisah heroiknya ketika melindungi Rosulullah. Dalam kitabnya Al-Ishabah disebutkan: “Ketika para sahabat kocar-kacir dalam peperangan Uhud, aku memberanikan diri untuk menyibakkan pedang, dan melontarkan anak panah untuk melindungi Rasulullah dari serangan musuh. Ketika musuh Allah, Ibnu Qami`ah berhasil merangsek masuk ke dalam pertahanan, sehingga mendekati Rasulullah, aku pun berlari dan menghalangi langkah maksud buruknya. Dengan sekuat tenaga aku melawannya. Namun, perlawananku tak membuahkan hasil karena dia memiliki pelindung dan tameng di sekujur tubuhnya, sehingga sabetan pedangnya pun mengenai leherku, dan meninggalkan gores luka yang sangat dalam”.8

Kesimpulan 

Mengambil kesimpulan cerita di atas, wanita tidak diperbolehkan untuk ikut serta dalam peperangan kecuali dalam situasi darurat atau dalam membela diri dan agama. Wanita dalam islam diberikan perlindungan dan hak-hak khusus yang perlu dijaga, termasuk hak untuk melindungi diri sendiri dan keuarga mereka. Jika terjadi situasi darurat dimana wanita perlu ikut serta dalam pertahanan agama dan negara, mereka dapat berpartisipasi dengan izin dari pemimpin muslim yang berwenang. 

Terhadap dalam firman Allah SWT yang artinya : “Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, laki-laki, perempuan dan anak-anak berkata : Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berikanlah kami seorang pemimpin yang dari sisi engkau dan berikanlah kami penolong dari sisi engkau”.9

Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam situasi darurat, wanita juga berperang di jalan Allah (jihad fisabilillah) membela orang-orang yang lemah. Pernah juga Bukhori dan Muslim meriwayatkan hadits : Rasulullah pernah mengizinkan wanita untuk ikut serta dalam perang untuk membantu para pejuang dengan memberikan air dan perawatan medis.

  1. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Prespektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, Cet.11, 2010), hlm. 122. ↩︎
  2. QS. An-Nahl/16: 58-59 ↩︎
  3. Mutawalli As-ya`rawi, Fiqh Al-Muslimah, terj. Yessi HM. Basyaruddin, hlm.109. ↩︎
  4. Pengertian ini disimpulkan dari sejumlah ayat Al-Quran seperti QS. An-Nahl/16: 97, QS. Al-Anam/6:165, QS. Al-Araf/7:72, dan QS. Al-Mumtahanah/60:12. ↩︎
  5. Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam, terjemah (Yogjakarta : Tarawang
    Press, (2002), hlm. 46. ↩︎
  6. Faruk Rahmanovic, “ There of Just War Understanding Warface as A Social Tool Through
    Comparative Analysis of Westren, Chinese, and Islamic Classic Theories of War, a thesis submitted to the Graduate Divison of the University of Hawai at Manoa in Partial Fulfilment of the Requitment for the Degree of Master of Arts in Philosophy, (May 2012), hlm. 12. ↩︎
  7. Alwi Shihab, Islam Inklusif,(Bandung :Mizan, 1997), hlm. 284. ↩︎
  8. Imam Ibnu hajar, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, (Beirut, Darul Jaili:1412), juz VIII,
    hlm. 265. ↩︎
  9. QS. An-Nisa, 4:75 ↩︎

Disclaimer: Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan resmi Asosiasi INSANIA APIHHI.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*